Judul : Tak
Lagi Seistimewa Sepatu Kaca Cinderella
Karangan : Siti Al Kharomah
Kategori : Cimor (Cerita Humor)
Tampak seorang pemuda, atau lebih
tepatnya seorang ABG labil sedang mengayuh sepedanya dengan santai. Memakai
seragam putih abu – abu, baju di masukkan rapi, celana ala jojon yang terlihat
seolah menenggelamkan tubuhnya. Sepasang sepatu kuda menghiasi kakinya. Eh
entahlah sepatu macam apa yang di pakainya. Yang perlu di ketahui, pasti itu sepatu
dulunya pernah baru. Yang mungkin itu merupakan sepatu warisan dari kakek
buyutnya dari zaman peradaban batu puluhan ribu tahun silam. Karena dari wujud
dan bentukannya sulit untuk di deskripsikan. Warnanya terlihat kusam dan buluk
meski sering di lap dan di semirnya setiap hari. Ada lubang - lubang ventilasi
di beberapa bagiannya yang dapat di jadikan sirkulasi udara apabila kakinya
merasa kegerahan terkurung di dalam alas kaki yang sebenarnya tak layak pakai
tersebut. Namun baginya, itu adalah sepatu istimewa melebihi keistimewaan
sepatu kaca Cinderella. Nanti akan di ceritakan mengapa demikian.
Ragil masih mengayuh sepedanya menuju
sekolah dengan santai. Menikmati sejuknya udara pagi, menyapa mentari, menyapa
dedaunan dan ranting – ranting pohon di sepanjang jalan. Ya maklumlah karena
tak ada sebutir, seekor, sebiji, atau seorang gadis yang sudi menyapanya ramah
di hiasi senyuman yang menawan sembari memanggil namanya dengan manja, seperti
yang di bayang – bayangkan di otak dengan IQ jongkok yang di milikinya yang
diisi penuh dengan imajinasi dan khayalan semu. Ya makhluk tuhan yang tak
sempurna karena pada dasarnya kesempurnaan hanyalah milik Allah ini namanya
Ragil. Meskipun ia tidak terlalu tampan tapi ia jelek. Meskipun di kelas ia
tidak terlalu pintar tapi ia bodoh. Tapi jangan salah sangka karena di balik
kekurangannya masih banyak kekurangan yang lain.
Ciiiiiiiittttt, seketika Ragil menarik
rem sepedanya dengan kencang. Gerbang sekolah sudah di tutup rapat oleh Pak
Ujang yang tandanya ia di nyatakan terlambat dan siap menerima hukuman darinya.
“Permisi
pak, tolong buka gerbangnya, saya mau masuk nanti saya terlambat Pak”
“Eladalah
ini bocah. Kamu tau nggak ini udah jam berapa. Kamu itu emang udah terlambat.
Tapi ngomong – ngomong emangnya kamu anak sekolah sini ya. Kok saya nggak
pernah lihat kamu sebelumnya. Nama kamu siapa, anak kelas berapa”
Kemudian
Pak Ujang membukakan gerbang dan mewawancarainya layaknya seorang Bos yang
sedang menginterview calon karyawan barunya.
“Yaiyalah
pak saya sekolah di sini. Gimana sih Pak. Nama saya Ragil anak kelas 12 IPS 1
Pak”
“Hah, nama kamu Kutil. Emangnya orang tua kamu gak punya nama lain ya. Sampai –
sampai anaknya di kasih nama Kutil. Jelek amat namanya, persis kaya orangnya.”
“Ragil
Pak. R.A.G.I.L” Ragil memperjelas namanya dengan mengeja huruf dalam namanya
satu persatu dengan nada agak jengkel.
“Ooh
iyayaya. Jadi Ragil, karena kamu terlambat, kamu harus menerima hukuman dari
saya. Kamu harus mengisi bak kamar mandi sekolah sampai penuh karena kebetulan
Kran airnya sedang mati”
“lha
terus saya harus nyari airnya di mana Pak. Apakah saya harus nimba airnya di
Sungai Nil biar greget. Begitu Pak”
“Kamu
nggak perlu jauh – jauh nimba airnya di Sungai Nil Kutil. Kamu nimba airnya itu
tu, di Sumur tua belakang sekolah aja. Pokoknya bak kamar mandi harus terisi
penuh. Kasihan guru atau siswa yang kebelet buang air di kamar mandi. Masak ceboknya
pake keset kamar mandi”
“Hah,
sumur tua belakang sekolah Pak. Bukannya itu sumur udah lama nggak kepake.
Terus katanya tuh sumur angker banget, yang bener baek Pak. Emangnya nggak ada
hukuman lain yang lebih elit lagi apa Pak” Ragil nampak benar – benar syok
mendengar perintah dari Pak Ujang untuk ngisi bak kamar mandi sekolah dengan
nimba air dari sumur tua belakang sekolah yang katanya banyak menyimpan cerita
mistis.
“Cepet
kerjain. Kalau kamu mbantah, saya kasih kamu skor 100 poin untuk keterlambatan
kamu ini. Dan alhasil kamu akan di bumi hanguskan dari sekolahan ini. Nah lhoh.
Gimana, gampang tho?”
“Gompang
gampang dari Hongkong” gerutunya dengan menampakkan mimik wajah kesal, yang
menambah kesan keangkeran pada wajah kurang tampannya.
“Apa
tadi kamu bilang?” Tanya Pak Ujang yang mulai naik darah mendengar perkataannya
tadi. Yang padahal di pikirnya, perasaan ia ngomong dengan nada lirih. Bahkan
saking lirihnya semut – semut merah penderita tuna rungu yang sedang berlalu
lalang di hadapannya juga tidak mendengar apa yang di katakannya tadi.
“Nggak
kok Pak. Tadi Cuma bilang, itu kok wajah Bapak mirip Kingkong” setelah berkata
seperti itu ia langsung lari tunggang langgang dengan menggunakan kedua kakinya
(yaiyalah, please deh, nenek – nenek hamil juga tau keles lari itu pake kaki)
dan kemudian langsung menjalankan hukuman dari Pak Ujang.
Ragil berusaha menjalankan hukuman dari
Pak Ujang dengan sebaik – baiknya. Awalnya ia di hantui pikiran yang tidak – tidak.
Ia takut kalau – kalau the dedemit
penghuni sumur tua tersebut tiba – tiba nonggol dari dalam sumur. Dedemit
penggoda mengajaknya untuk hidup bersama kemudian membuat kerajaan sendiri di
dalam sumur tua itu. Atau tiba – tiba sepenggal kepala nyangkut di ember sumur
ketika ia sedang nimba, yang ternyata kepala milik hantu kepala buntung jeruk
purut, lalu si hantu marah dan mendorongnya ke dalam sumur. Dan dirinya akan
tinggal sebuah nama, tenar di berbagai media dengan pemberitaan kasus kematian
tragis seorang pelajar di sumur tua belakang sekolah demi memperjuangkan cinta
Pak Ujang. Eh ralat, lebih tepatnya demi memperjuangkan hukuman dari Pak Ujang.
Tetapi Kemudian ia berusaha berpikir logis .”Hah mana ada hantu pagi hari kayak
gini” begitu pikirnya. Tidak pernah di
sangka, otak yang pinternya nggak seberapa itu bisa untuk berfikir logis juga
ternyata. Ragil pun akirnya dapat menyelesaikan hukuman dengan baik.
Hari yang melelahkan di sekolah. Ia
pulang mengayuh sepedanya pelan, dengan kecepatan 2,6 km/jam setara kecepatan keong
racun lomba lari maraton. Rasa lelah dan letih begitu menggelayuti diri. Pundak
dan punggungnya terasa berat seakan ada sepuluh tuyul anak yang sedang ia
gendong. Kakinya juga berat untuk mengayuh sepeda seakan pergelangan kakinya
itu di cengkram kuat oleh suster ngesot yang bosan ngesot. Ia pun memutuskan
untuk istirahat sebentar di sebuah taman kota kecil yang sejuk di seberang
jalan untuk sejenak menghilangkan penat. Ia duduk bersandar di bawah pohon yang
rindang. Tiba – tiba ia terkejut melihat si gadis ice cream. Iya, si gadis ice
cream yang sedang duduk sendiri di bangku taman itu. Ia begitu senang
karena akhirnya setelah sekian lama, ia dapat bertemu kembali dengannya. Ia
berusaha menghampiri si gadis ice cream
dengan hati yang berdegup kencang. Langkahnya begitu ringan, seakan bisa
membawanya terbang. Senyumnya merekah seakan mampu menyinari seisi jagad raya.
“Eee,
permisi”
“Iya”
Meski baru sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Suara lembut si gadis ice cream itu terdengar syahdu di
telinga Ragil. Diiringi tolehan kepalanya dengan rambut yang di kibaskan indah
layaknya iklan – iklan shampoo di
televisi.
“Kamu
Liza kan”.
“iya
betul. Maaf siapa ya?” tanya Liza si gadis ice
cream yang ternyata tidak mengenali dirinya.
“Aku
Ragil. Kita pernah se-SMP dulu. Dulu kamu yang pernah nabrak aku, terus ice cream kamu jatuh ke sapatu aku.
Inget kan” jawab Ragil berusaha memulihkan ingatan Liza.
“Ooh
iya iya, kamu si Ragil anak kelas IX C itu kan, yang dulu culun banget” Ragil
awalnya tersenyum mengetahui Liza masih mengingatnya, kemudian dahinya
berkrenyit karena Liza bilang kalau dirinya culun, ia hanya menggaruk – nggarukkan
kepalanya yang padahal tidak terasa gatal. Ia berusaha tersenyum kembali untuk
mencairkan suasana.
Ragil begitu senang dapat bertemu kembali
dengan Liza, si gadis ice creamnya
itu. Mengapa Ragil menyebutnya si gadis ice
cream ya. Begini cerianya.
Waktu itu saat Ragil masih duduk di
bangku kelas tiga SMP. Saat itu ia masih dekil dan culun - culunnya (meski
sampai sekarang pun ia masih dekil dan culun juga sih). Ia mengalami kenangan
yang di anggapnya indah dan berkesan dengan si gadis ice cream alias Liza.
Saat itu, di pagi hari menjelang siang yang
cerah meski langit mendung dan petir menggelegar. Saat jam istirahat tiba.
Ragil yang sedang berjalan seorang diri hendak menuju kantin untuk membeli
jajan kesukaannya yaitu sebungkus kripik upil Kudanil dan tidak lupa minumannya
yaitu segelas jus keringat Kerbau, tiba – tiba ia di tabrak oleh seorang siswi
cantik yang sedang jalan terburu – buru dengan memegang ice cream yang baru di belinya di kantin. Seketika ice cream itu jatuh di sepatu Ragil.
Karena merasa bersalah telah membuat sepatu Ragil kotor. Tiba – tiba tanpa
pikir panjang siswi cantik tersebut langsung jongkok lalu mengeluarkan sapu
tangan dari saku bajunya kemudian membersihkan sepatu Ragil yang di buat kotor
olehnya. Ragil pun merasa tidak enak hati melihat tindakan yang di lakukan
siswi cantik itu. Lalu ia langsung mengangkat pundak siswi cantik itu dan
berkata kalau ia baik – baik saja, dan menyuruhnya untuk jangan menghiraukan
lagi sepatu kotornya, katanya nanti gampang beli lagi yang baru.
Eh boro – boro beli sepatu baru,
minta di belin kaos kaki sama Emaknya karena kaos kakinya yang dulunya berwarna
putih bersih melambangkan arti kesucian hingga warnanya berubah menjadi coklat
kehitaman dan penuh pori – pori besar yang menghiasinya aja, nggak mesti di kasih
sama emaknya, apalagi minta di beliin sepatu baru. Ya maklumlah gengsi dikit
ceritanya.
Siswi cantik yang bernama Liza itu, dengan
wajah penuh rasa bersalah tiba - tiba menjulurkan tangan halusnya sebagai
pertanda ia ingin meminta maaf. Ragil grogi dan deg – degan setengah mati saat
hendak menggapai tangan si gadis ice
cream itu. Ia canggung dan malu menyadari bahwa tangannya tak sehalus aspal
jalan raya minimalnya, melainkan lebih parah dari itu, tangannya halus sehalus
parutan kelapa yang biasa di gunakan Emaknya marut kelapa di rumah.
Tatap mata indah si gadis ice cream yang penuh
sayup – sayup sendu dengan niatan permintaan maaf yang tulus dari hatinya itu
telah menggetarkan hati Ragil. Bergetar begitu dahsyatnya dengan kekuatan 9,9
skala richter. Keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya. Ia pun akhirnya dapat
menggapai tangan si gadis ice cream yang
memberi arti ia telah memaafkannya. Kemudian di iringi senyum manis semanis
gula produksi pabrik gula Sragi dari bibir si gadis ice cream yang mampu membuat hati Ragil meleleh.
Melihat senyuman itu, mulut Ragil
mengnganga, matanya tak berkedip, lubang hidungnya kempang – kempis, nafasnya sempat
terhenti (untung tidak berhenti bernafas selama – lamanya). Ingin rasanya ia
berhentikan waktu sejenak atau ia ajak semua orang bermannequin challenge agar ia dapat lebih lama melihat lengkung indah
yang menarik pipi itu dan mengartikan perasaan aneh yang sedang hinggap di
dirinya saat ini. Mengapa semua terlihat begitu indah. Selokan sekolah yang
nyatanya seperti comberan, terlihat layaknya aliran sungai di surga yang airnya
jernih. Suara bising siswa terdengar seperti konser Shymphony Orcrestra yang mengalun indah. Perasaan macam apa ini. Ia
pun tak tahu.
Dan semenjak kejadian itu, pikirannya
tak bisa terlepas dari Liza. Begitu sayang pula ia terhadap sepatu buluknya itu.
Yang meski dulu kondisinya tak sebuluk dan sememprihatinkan saat ini. Baru
pertama kalinya ia merasakan gejolak hati yang begitu dahsyatnya pada seorang
gadis cantik pemilik hati baik, mata yang indah dan senyum yang menawan. Ia pun
sempat bertanya pada dirinya sendiri, meski dirinya sendiri pun tidak
menjawabnya “Apakah ini yang namanya cinta”.
Dan beberapa hari tak bertemu dengan si
gadis ice cream di sekolah, di
kabarkan kalau ia pindah sekolah ke luar kota menyusul ayahnya yang bekerja di
sana. Mengetahui hal tersebut hati Ragil pun melebur dalam kesedihan mendalam.
Dan itulah alasan mengapa Ragil begitu menyayangi sepatu buluknya yang akan selalu
mengingatannya pada Liza. Dan Ia beriktikad bahwa dari sepatu itulah yang akan
membawa langkahnya kembali bertemu dengan Liza.
Dan saat ini ia telah bertemu kembali
dengan Liza dan sedang asyik ngobrol meski hanya obrolan basa – basi kurang
bermutu. Namun hatinya begitu senang teramat sangat. Dan baru sebentar
mengobrol, Liza pamit pulang. Karena katanya udah kesorean, takut di cariin
orang tuanya.
Si Ragil ma boro – boro di khawatirin
dan di cariin Emaknya. Dia nggak pulang juga Emaknya biasa – biasa aja. Kata Emaknya
sukur – sukur kalo dia kagak pulang, berarti nasi di rumah masih utuh. Kalo
sisa banyak berarti itu jatah buat Alexandro, kucing peliharaan kesayangan Emak
Keesokan harinya, sepulang
sekolah Ragil sengaja mampir di taman kota lagi. Berharap dapat bertemu lagi
dengan Liza di sana. Dan betapa bahagianya ia, Liza ada di sana, duduk seorang
diri yang terlihat sedang menikmati sejuknya udara sore di taman. Ragil pun
menghampirinya.
“Hai”
sapa Ragil sok asik
“Eh
Ragil”
“Boleh
duduk di sini kan?” pinta Ragil kembali bersikap sok asik
“Iya,
boleh – boleh kok, silahkan” jawab Liza mempersilahkan Ragil duduk di
sebelahnya
“Ngomong
– ngomong kenapa setiap sore kamu suka duduk di sini ya Za?”
“Masa
sih. Yaudah deh besok – besok aku pindah deh, duduk di pinggir empang milik Pak
Ucup aja ah udah di katain kamu gitu sih soalnya” Ragil tidak menyangka jawaban
dari Liza begitu renyah untuk sebuah pertanyaan basa – basi darinya.
“Hehe
enggak Za. Cuma bercanda” jawab Ragil yang bersikap sok asik lagi, lagi, dan
lagi.
“Eh
iya Gil, ini aku kasih kamu undangan acara pesta ulang tahunku besok malam. Kamu
datang ya. Nanti ada acara pesta dansanya juga lho”
“Wih.
Pesta dansa. Tapi aku mau ngajak dansa siapa ya?” jawab Ragil dengan raut muka
yang tiba – tiba lusuh sengaja di isyaratkan sebagai kode keras darinya agar si
Liza iba terus mengajaknya untuk berdansa bersama dia di pesta ulang tahunnya
itu.
“Nanti
aku ajak dansa kamu deh kalo aku belum ada pasangan dansanya. Hehe” jawabnya
agak cengengesan. Namun Ragil di buat baper oleh jawaban Liza tadi.
Dan hari yang di tunggu – tunggu pun
tiba. Ragil tengah siap – siap untuk pergi menghadiri pesta ulang tahun Liza.
Ia mengenakan pakaian yang di anggapnya paling bagus yang pernah ia miliki. Yaitu
setelan jas yang jarang di pakainya. Terakhir kali di pakai waktu perpisahan
SMP dulu. Yang alhasil nampak agak kekecilan dan membuat tubuhnya seperti lupis
saat ia kenakan. Ia juga memakai sebotol minyak nyong – nyong beramoma kemenyan
yang di ambil diam – diam di kamar emaknya. Rambut di sisir rapi dengan pomade
dari minyak sisa penggorengan ikan gereh emak tadi siang. Dan ia kenakan satu –
satunya sepatu berharga yang di milikinya yang selalu mengingatkannya pada Liza
yang sudah di lap dan di semirnya namun tetap saja masih terlihat buluk. Tak
lupa kado istimewa yang akan di berikannya pada Liza nanti. Berupa sepasang
sepatu kaca yang indah yang di belinya dari uang tabungannya selama ini hasil jadi
buruh cari rumput untuk pakan kambing milik Bang Emen, tetangga sebelah
rumahnya.
Ragil merasa semuanya sudah siap,
tinggal on the way ke rumah Liza sang
Cinderella yang akan di ajaknya berdansa nanti. Namun sang Pangeran berkuda
merasa kebingungan karena tak punya kuda yang dapat di tungganginya untuk pergi
menghadiri pesta itu. Yang ada hanya sepeda butut yang terlihat lusuh yang
sedang tersandar di tembok. Dia gengsi dong, masa dengan dandanannya yang sudah
kece badai, menghadiri pesta dansa tuan putri naik sepeda butut.
Tiba – tiba ia seolah telah memperoleh
petunjuk. Secercah cahaya menyinari kebuntuan masalahnya. Langsung saja ia
berlari ke rumah Bang Emen.
“Bang
Emen. (Tok tok tok)” teriaknya, sambil mengetok pintu rumah Bang Emen.
“Eh
busyet. Dedemit nongol dari mana ni” Bang Emen yang terlihat syok setelah
membukakan pintu yang ternyata ada dedemit culun bertamu di rumahnya
“Apaan
sih Bang. Bang aku mau pinjam motor Abang boleh kagak” jawab Ragil langsung to the point.
“Hah.
Buat apa emangnya. Eh bentar – bentar. Tumben – tumbennya juga elu rapi kayak
gini. Mau kemana emangnya” tanya Bang Emen dengan tatapan penuh tanda tanya
“Gini
Bang. Aku mau dateng ke pesta ulang tahun temen spesial aku. Rumahnya lumayan
jauh Bang. Kalo naik sepeda kan kelamaan, takut acaranya kelar pas baru sampe
sana. Jadi pinjemin motornya ya Bang” pinta Ragil merengek – rengek pada Bang
Emen, yang berharap Bang Emen iba dan mau minjemin motornya
“Yaudah
deh. Kasihan juga gua ngeliat muka ngenes elu. Nih” Bang Emen lalu memberiakan
kontak motornya ke Ragil
“Baaaaaang,
ntar jadi kan kondangan ke kawinannya Julaeha”
Terdengar
suara Mpok Inah dari dalam rumah dengan nada sepuluf oktafnya melengking
nyaring.
“Ee
iya beb, jadi dong” jawab Bang Emen dengan nada suara yang juga sengaja agak di kersaskan supaya si bebebnya
denger.
Bang
Emen masih berdiri di depan pintu, yang baru saja ngasih kontak motornya itu ke
Ragil tiba – tiba mukanya berkerenyit, terlihat agak setengah panik mungkin
karena kurang piknik dan berkata.
“Waduh,
iya Gil. Nanti gua sama bebeb Inah mau kondangan. Tapi motornya udah gua pinjemin
ke elu ya. Yaudah gini aja deh, gua pinjemin tuh motor gua, tapi elu harus
janji sama gua kalo motor itu harus udah balik tepat jam sepuluh malem. Karena
kebetulan gua sama bebeb pergi kondangannya jam segitu. Oke, jadi gitu ya
kesepakatannya” awalnya Ragil sempat agak berberat hati untuk menyetujui
kesepakatan tersebut. Namun apa boleh buat, keadaan mendesak, ia pun akhirnya
menyetujuinya.
Kini Ragil si Pangeran culun merasa
sudah menjadi sang Pangeran berkuda sesungguhnya yang siap bertemu tuan putri di
pesta untuk berdansa dengannya nanti. Namun layaknya dalam cerita Cinderella
yang mana Cinderella dapat pergi ke pesta hanya sampai jam dua belas malam
saja. Hampir serupa dengan Ragil si Pangeran berkuda culun ini. Ia hanya di
beri waktu sampai jam sepuluh malam untuk dapat menghadiri pesta si tuan Putri.
Ragil langsung melajukan motor Kawasaki Ninja
H2 milik Bang Emen, kuda tunggangan sang Pangeran berkuda menuju ke pesta tuan
putri. Sesampainya di sana, Ragil si Pangeran berkuda langsung memarkirkan kuda
tunggangannya dan sempat mencuri perhatian orang, karena mungkin agak heran melihat
makhluk culun datang ke pesta dengan tunggangan yang lumayan keren. Dan langsung
saja Ragil masuk dan mencari – cari Liza, sang Cinderella yang akan di ajaknya
berdansa.
Pesta dansanya sudah di mulai. Orang –
orang berdansa dengan pasangannya masing – masing. Namun betapa terkejutnya ia,
di tengah kedua bola mata julingnya yang sedang mencari – cari, ia melihat Liza
yang tengah berdansa dengan seorang pria berwajah rupawan nan gagah perkasa.
Dari samping kanan terlihat lelaki itu begitu tampan, setampan aktor korea
ternama yaitu Lee Min Ho, di lihat dari samping kiri begitu mempesona mirip
Aliando, tubuhnya tegap dan kekar mirip Cristian Ronaldo. Ia pun tersadar lalu
memandangi dirinya sendiri penuh iba, karena apalah daya ia yang tampannya tak
lebih dari Bopak Castello, wajah mirip Pak Tarno, kalau mau di sulap jadi
tampan pun maksimalnya hanya mirip Ki Joko Bodo.
Hati Ragil si Pangeran dekil nan culun
itu benar – benar hancur melihat Liza sang Cinderella yang akan di ajaknya
berdansa ternyata tengah berdansa dengan lelaki lain yang ternyata tunangannya.
Ragil benar – benar tak sanggup lagi melihat kenyataan yang memilukan itu.
Ragil langsung berlari keluar dengan meninggalkan kepingan hati yang
berceceran. Namun sialnya ia menabrak sebuah meja berisi penuh hidangan untuk tamu
undangan. Ia pun terjatuh, makanan tumpah ruah ke lantai. Sontak puluhan tatap
mata pun tertuju padanya. Ia berusaha bangkit untuk bergegas pergi meninggalkan
tempat yang membuat rongga hatinya kian pengap tersebut sambil menahan kecewa
sekaligus rasa malunya.
Pesta sempat terhenti. Liza pun berusaha
mendekat untuk melihat keriuhan yang sedang terjadi. Namun Ragil langsung
bangkit dan berdiri lalu lekas meninggalkan acara tersebut. Namun ia ketiban
sial lagi. Saat ia berlari keluar dari tempat itu, tak sempat ia melihat
sekeliling, tiba – tiba ia jatuh tersungkur tersandung batu – batu nakal.
Sebelah sepatunya terpental dan nyangkut di pohon mangga di halaman rumah Liza.
Ia tersungkur, bibir mengecup tanah dan wajah mencium sesuatu bertekstur empuk.
Di raba dan ciumnya si empuk yang mengenai wajahnya tersebut. Dan dengan
santainya ia berkata “Oh eek ayam rupanya. Untung aja nggak keinjek”.
Ragil pun pulang dengan nasib
mengenaskan. Kesialan yang di alaminya seolah telah tergurat abadi dalam
dirinya. Ia pulang dengan menuntut sepeda motor Bang Emen yang ternyata
kehabisan bensin. Wajah bercoreng bedak
foundation dari eek ayam dan ia hanya mengenakan sebelah sepatu saja karena
yang satunya nyangkut di pohon mangga. Lumayan jauhlah Ragil menuntun motor
mogok Bang Emen dari rumah Liza ke
rumahnya, sekitar 3 km cukuplah membuat kakinya gempor, karena tidak ada pom
bensin atau penjual bensin eceran yang di temuinya.
Sesampainya di rumah, terlihat Bang Emen
dengan dandanan rapi dan Mpok Inah yang mirip Sintren yang kerasuakan valak the conjuring dengan aura
kemarahan yang siap meledak tengah berdiri di teras rumah. Tanpa Babibu
teplakan lima jari Mpok Inah mendarat mulus di wajah Ragil.
“Ini
jam berapa Gil. Kita udah nungguin kamu di sini dari tadi tau. Emangnya elu
pinjem tu motor lama kemana hah. Habis ajakin nge date bencong pengkolan. Mpok mau ke kondangan ke kawinannya Juleha
dah kemaleman. Alamat nggak jadi dah kalo kayak gini” Terlihat kemarahan Mpok
Inah begitu menggebu – nggebu. Bang Emen berusaha menenangkan kemarahan Mpok
Inah dengan menepuk – nepuk manja pundak istrinya tersebut.
“Dah
yuk Bang pulang. Nggak jadi kita nebeng makan jalan di acara kawinannya
Julaeha. Gara – gara tu bocah tengil” sambil memperlihatkan tatapan sinisnya ke
arah Ragil.
Ya apa boleh buat. Perjanjian waktu
hingga jam sepuluh malam yang di milikinya tak dapat ia penuhi karena kesialan
yang harus ia hadapi. Terlebih ia harus menuntun motor Bang Emen yang kehabisan
bensin sejauh 3 km yang cukuplah memakan banyak waktu. Ia tiba di rumah pukul
23.01 yang langsung di sambut oleh amukan Sintren yang kerasukan valak the conjuring.
Krekeeeeet. Ia buka pintu rumahnya dan
jeng – jeng, terlihat Emaknya yang tengah berdiri di depan pintu menyambutnya
dengan sambitan sapu lidi yang di pukul – pukulkannya di pantat Ragil. Ragil
berusaha menyelamatkan diri dari amukan emaknya tersebut dengan berlari kesana
– kemari menghindari serangan emak, kemudian tiarap berlindung di kolong meja.
Namun apa yang terjadi pemirsa. Nampaknya serangan bertubi – tubi emak memang tidak
bisa di elakkan.
“Dasar
elu ya tong yang udah ngutil parfum Emak, lu colong diem – diem di kamar Emak”
“Bu
bu bukan Mak” Ragil berusaha mengelak dari tuduhan Emaknya tersebut
“Bukan,
bukan gimana. Siapa lagi emangnya kalo bukan elu. Elu mau nuduh kalo yang
ngutil itu si Alexandro. Please deh, mana mungkin. Elu tau kagak tu parfum tu Emak
beli masih nyicil. Main elu abisin aja. Dasar anak nggak tau di untung”
Kemarahan Emak ini melebihi kemarahan Mpok Inah si sinten yang kesurupan valak the conjuring.
Ketakutan dan raut penuh salah tergambar
jelas di wajah Ragil. Dan tak tahu apa yang harus dia perbuat. Tiba – tiba ia
menyodorkan sebuah kotak kepada Emak yang merupakan kado yang berisi sepatu
kaca yang padahal akan di berikannya pada Liza di acara ulang tahunnya tadi.
Langsung aja di comot sama si Emak dengan cepatnya, di bukanya kado tersebut
dan terlihat mata Emak berbinar – binar melihat isi kado tersebut.
“Ya
ampun tong. Ini sepatu keren bingitz. Elu tau nggak tong. Ni sepatu kaca ntu,
dah lama emak pinginin dari jaman Emak masih perawan dulu. Tapi kagak pernah
kesampean karena Emak kagak punya duit buat belinya” begitu tutur Emak dengan
sikap alay yang tiba – tiba hinggap di dirinya.
Langsung aja Emak pakai sepatu kaca
tersebut di kaki kisutnya. Dan sring ewer ewer. Apa yang terjadi. Sungguh luar
biasa. Ragil melihat Emaknya begitu mempesona dengan mengenakan sepatu kaca
tersebut. Seperti terkena sihir ibu peri yang tiba – tiba membuat Emaknya
terlihat cantik. Dan sayap remang seolah terlihat di balik punggung Emaknya. Sebuah
tempat yang indah pun tiba – tiba
terlihat di balik telapak kaki kisut Emak.
Ragil tiba – tiba tersadar dari sekilas
lamunan penuh khayalnya. Ia baru menyadari bahwa sosok perempuan luar biasa itu
Emak, dialah malaikat tak bersayap yang hadir di dalam hidupnya. Meski selalu
di marahi olehnya setiap hari namun sebenarnya tiadalah seorang ibu yang tidak
menyayangi anaknya sendiri. Mungkin kesialan yang di alaminya setiap hari di
karenakan ia durhaka karena sering membuat Emaknya marah. Dengan haru dan mata
yang tiba – tiba berkaca – kaca. Ragil langsung memeluk Emaknya erat.
“Mak,
maapin Ragil ya Mak. Ragil selalu buat Emak marah”
“Duh
apa – apaan nih. Kesambet setan apaan lu. Lepasin ih, Emak kagak bisa napas
nih. Elu kayak gini pasti ada maunya nih”
“Kagak
kok Mak”
“Pasti
ada udang di bali bakwan nih. Udah ngomong aja lu mau minta apa”
“Ragil
cuma mau minta supaya Emak bisa sehat terus biar Ragil bisa bahagiain Emak. Dan
Ragil mau minta. Ee.. ee. Minta di beliin sepatu baru Mak”.
“Hmm.
Tu kan Sudah Emak duga. Yaudah besok Emak beliin sepatu baru. Apa sih yang
kagak buat anak Emak satu – satunya ni” sambil Emak belai halus rambut Ragil, dan tiba – tiba ‘plak’ sambitan sapu lidi menyambar pantatnya.
“Udah
ngapa Mak sakit tau. Tapi Beneran nih Mak, Emak mau beliin sepatu baru buat
Ragil. Tumben – tumbennya Emak baik kayak gini. Sama satu lagi Mak, Ragil mau
minta di beliin motor kayak punya Bang Emen ntu ya Mak”
“Hah.
Dasar ya anak kagak tau di untung. Udah di kasih hati mintanya batu ginjal”
Sambitan sapu lidi dari Emak pun kembali menyerang Ragil.
Dan perlu di ketahui sobat, sebenarnya
tidak ada orang tua yang tidak ingin melihat anaknya bahagia. Dan sebagai anak
harusnya taulah keadaan orang tua seperti apa. Janganlah terlalu menuntut
lebih. Karena orang tua pasti bakal turuti kemauan anaknya selagi ia masih bisa
memenuhinya. THE POWER OF EMAK.
TAMAT
Terima kasih kawan
sudah membaca cepen tapi bukan cerpen deng, karena ceritanya lumayan panjang
ya. Terus apa dong namanya. Yaudah aku
kasih nama CIMOR (Cerita Humor) aja deh.
Cimor ini hanyalah
fiktif belaka. Mohon maaf kalau ada kesamaan nama, tepat, dan kejadian.
Semoga terhibur.
Kritik dan saran yang
membangun sangat di harapkan dari kalian Happy reader. Hayuk jangan lupa beri
kritik dan sarannya di kolom komentar ya.
Triple-S (salamsupersiti)
kriiiikkkk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar